Label

Rabu, 06 Januari 2010

PENGARUH PENAMBAHAN RESIDU MINYAK PADA PROSES PENCAIRAN BATUBARA BANKO TENGAH (“ CO-PROCESSING ”)


Indonesia harus mengimpor BBM dan/atau minyak mentah dalam jumlah yang cukup besar setiap tahun untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, yang jumlahnya dari tahun ketahun terus meningkat. Data Pertamina (2002) menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah BBM yang harus diimpor Indonesia diperkirakan akan mencapai 52 juta barel. Untuk itu pemerintah harus mengeluarkan devisa sekitar USD 1,98 milyar (dengan asumsi harga BBM = USD38/barel, yaitu harga di pasar Singapore saat ini). Kebutuhan impor ini akan meningkat terus dan diperkirakan akan mencapai 84 juta barel pada tahun 2010, atau sekitar USD 3,19 milyar [8] . Akumulasi devisa yang harus dikeluarkan untuk impor BBM antara tahun 2005 - 2010 mencapai USD 9,5 milyar, suatu jumlah yang sangat fantastis besarnya. Prediksi yang dibuat Universitas Indonesia meskipun lebih rendah dari Pertamina, namun kecenderung-annya tetap sama [1] .

Masalah kekurangan suplai BBM ini menjadi salah satu perhatian utama BPPT/pemerintah yang harus segera diatasi, disamping masalah kekurangan suplai listrik. Karena itu BPPT berusaha untuk mendorong program-program energi nasional yang diharapkan dapat memberikan solusi terhadap masalah kekurangan BBM tersebut, salah satunya adalah program Pencairan batubara. Program ini sudah dilaksanakan sejak tahun 1994 dengan kegiatan utama: feasibility study . Dalam kaitan dengan feasibility study tersebut, kegiatan penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari program pencairan batubara di Indonesia yang sasaran utamanya adalah komersialisasi teknologi pencairan batubara di Indonesia.

Kelayakan teknis dan ekonomis merupakan dua faktor penentu utama dalam komersialisasi suatu teknologi. Karena itu upaya-upaya selalu dilakukan untuk meningkatkan efisiensi proses dan mencari alternatif bahan baku, lokasi maupun faktor-faktor lain yang diharapkan akan dapat menurunkan biaya konstruksi dan operasi secara signifikan.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengurangi jumlah konsumsi hidrogen yang diperlukan dalam proses pencairan batubara dengan cara memanfaatkan residu minyak bumi sebagai pelarut dan sumber donor hidrogen ( co-processing ), menggantikan coal derived solvent (pelarut dari proses pencairan batubara).


KESIMPULAN

  1. Penggunaan residu minyak bumi dalam proses pencairan dapat meningkatkan perolehan minyak dan meningkatkan kualitas minyak yang dihasilkan karena adanya sinergis yang kuat antara residu dan batubara selama reaksi pencairan batubara.

  2. Kenaikan temperatur reaksi menyebabkan kenaikan jumlah perolehan minyak (distilat), dan CLB turun karena terkonversi menjadi fraksi distilat dan fraksi gas

  3. Pengaruh tekanan hampir sama dengan pengaruh temperatur terhadap distribusi produk co-processing yaitu semakin tinggi tekanan awal hidrogen maka distilat yang diperoleh semakin besar. Konsumsi hidrogen mengalami penurunan sangat signifikan seiring dengan bertambahnya tekanan awal hidrogen.

  4. Residu terbaik untuk co-processing adalah short residue karena selain hasil distilat netto nya tinggi, konsumsi hidrogennya rendah sehingga ini diharapkan dapat menurunkan biaya operasional dalam hal penyediaan gas hidrogen.
Pemanfaatan residu dari kilang minyak merupakan terobosan baru untuk mensinergikan pabrik pencairan batubara muda dengan kilang minyak. Residu minyak bumi selain murah juga pemanfaatannya belum maksimal. Keuntungan lain dari penggunaan minyak residu adalah meningkatnya kelayakan teknis minyak yang dihasilkan seperti berkurangnya senyawa aromatis yang bersifat racun, dan meningkatkan angka setana produk fraksi diesel.

sumber: http://www.iptek.net.id/ind/?mnu=8&ch=jsti&id=314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar