Label

Sabtu, 09 Januari 2010

Ketika Pertamina Ngegas, Jangan Coba Direm!


Dari serangkaian wawancara Majalah WePe dalam kesempatan berbeda di bulan November 2009 lalu, dengan Dirut yang sekaligus Direktur Hulu Pertamina Karen Agustiawan, lalu Wakil Direktur Utama selaku pelaksana tugas harian (PTH) Direktur Umum dan SDM Omar S. Anwar , Direktur Pengolahan Rukmi Hadihartini, Direktur Pemasaran dan Niaga Achmad Faisal, dan Direktur Keuangan Ferederick ST Siahaan, diketahui Pertamina sedang dalam tahap implementasi lebih konkret mencapai visi besarnya untuk menjadi national oil and gas company (NOC) kelas dunia tahun 2023. Langkah ini melanjutkan upaya perubahan yang dilakukan periodeperiode sebelumnya.Di tengah giat-giatnya melakukan terobosan, Pertamina masih terkendala persoalan klasik yang terasa kontraproduktif. Kendala ini tampak lebih pada cara pandang yang masih berbeda pada beberapa isu antara Pertamina di satu pihak dengan Pemerintah dan DPR di pihak lain.Beberapa kebijakan Pemerintah dan DPR seringkali tidak menguntungkan Pertamina. Kebijakan pelaksanaan PSO (public service obligation) yang sebetulnya sudah bisa mengutungkan Pertamina karena ada "biaya + profit" yang dikenal dengan istilah MOPS plus Alpha.
';
writethis(jsval);//-->
st1\:*{behavior:url(#ieooui) }
MOPS adalah standar harga BBM di pasar minyak di Singapura -- Mid Oil Platt Singapore - sebagai patokan. Dan keputusan Pemerintah dan DPR adalah menetapkan Alpha Rp 556 per liter. Asumsinya, harga minyak mentah sebagai bahan baku BBM adalah 60 - 65 dolar AS per barel. Ketika harga minyak mentah sudah melonjak ke angka 80 dolar AS per barel, biaya produksi naik, harga sewa kapal naik, mestinya DPR dan Pemerintah memberikan perubahan angka Alpha agar Pertamina tidak merugi.Pertamina berpotensi merugi sebesar Rp 240 miliar pada tahun 2010. Belum lagi beban subsidi konversi energi dari minyak tanah ke LPG yang tidak memberikan keuntungan sama sekali bagi Pertamina tapi malah dana yang dikeluarkan Pertamina belum dibayarkan oleh Pemerintah.Beban lain, Pemerintah mewajibkan menyetorkan dividen dalam jumlah yang teramat signifikan sehingga memperkecil kemungkinan investasi memadai dan proporsional bagi penguatan perusahaan.Urusan lain adalah piutang PLN, Garuda, dan TNI yang macet, dalam pembelian BBM, sehingga cukup mengganggu cashflow Pertamina, karena jumlahnya terus membengkak tanpa ada penyelesaian komprehensif dari Pemerintah selaku pemegang otoritas dan tanggung jawab dua BUMN dan institusi TNI.
•••Sementara di dalam negeri, Pertamina terus memaksimalkan tingkat penemuan cadangan baru dan tingkat produksi migas dengan upaya EOR untuk lapangan eksisting onshore, eksplorasi baru di offshore, dan akuisisi blok-blok potensial yang telah berakhir masa kontraknya dari perusahaan lain. Pertamina terus memperkuat infrastruktur kilang agar lebih efisien dengan konfigurasi yang tingkat keekonomiannya bersaing dengan kilang di luar negeri. Juga memprogramkan membangun kilang baru di Balongan (ekspansi), Bojanegera, Banten, serta di Tuban, Jawa Timur yang bekerjasama dengan partner luar negeri. Pasar terbuka di dalam negeri, terus dihadapi Pertamina dengan memperkuat SPBU-SPBU berlogo Pertamina, baik yang milik Pertamina maupun milik swasta. SPBU Pasti Pas semakin diterima masyarakat konsumen dan sanggup mengalahkan SPBU-SPBU milik Shell, Petronas, dan Total yang masuk ke Indonesia di sektor retail. Dalam pelaksanaan BBM bersubsidi (baca: BBM PSO) kini akan hadir perusahaan lain, yaitu Shell, Petronas, dan AKR. Yang masih ditunggu Pertamina hingga jelang akhir 2009 ini adalah mekanisme yang akan ditetapkan Pemerintah dalam pelaksanaan PSO BBM 2010 yang melibatkan pihak swasta asing dan swasta nasional ini. Ada harapan mekanisme ini jangan cenderung menguntungkan pihak lain, sementara Pertamina "dikorbankan" oleh kebijakan pemilik sahamnya sendiri. Di tengah situasi yang belum pasti, dalam situasi pasar yang semakin terbuka dan tanpa monopoli, Pertamina terus beru-saha mempertahankan pasar BBM non subsidi dan pelumas. Juga pasar bagi pet-rokimia, dan panasbumi. Walaupun umumnya pasar yang terbuka di negara manapun, market leader hanya bisa menguasai market share di bawah 50 persen, tapi Pertamina berusaha mencapai target 85 persen, dengan keyakinan adanya faktor historis - nasionalisme di tengan masyarakat kita.
•••Melalui UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 Ada perubahan status badan hukum dari BUMN khusus yang pada prakteknya tidak murni bisnis, tapi lebih sarat penugasan Pemerintah, menjadi BUMN berbentuk Perseroan Terbatas (PT), sehingga pengaturannya selain mengikuti UU Nomor 22 Tahun 2001, dan secara profesional mengikuti UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN. Posisi baru ini memberikan secercah harapan dan peluang Pertamina bisa membangun pure business entity. Problem Pertamina selama berlaku UU Nomor 8 Tahun 1971 adalah separuh kaki di kegiatan nirlaba (PSO) dan kaki yang lain di usaha komersial. Tetapi perkembangan berikutnya kaki PSO yang lebih diberatkan Pertamina.Lebih dari 70 persen keuangan Pertamina dalam periode itu adalah untuk semata-mata pengamanan suplai BBM dan gas bumi di seluruh negeri. Formulasi PSO BBM dan gas bumi saat itu adalah "biaya + fee" yang dikenal sebagai cost plus fee. Artinya Pertamina diberi ganti biaya dan fee 20 sen dolar untuk biaya pengolahan dan 20 sen dolar untuk pendistribusian setiap liter BBM. Tetapi fee ini pun masih harus dipotong pajak 60 persen. Padahal BUMN lain saat itu hanya dikenakan beban pajak sekitar 35 persen.Dalam formula MOPS plus Alpha, Pertamina mengeluarkan biaya terlebih dahulu, dan itu diganti Pemerintah dari alokasi dana subsidi BBM dan gas bumi. Tetapi pada prakteknya, tidaklah seindah apa yang dibayangkan. Memang sangat disayangkan. Ketika Pertamina ngegas untuk mempercepat lajunya, beberapa kondisi pelaksanaan PSO BBM saat ini, lalu PSO konversi minyak tanah ke LPG 3 kilogram, serta problem piutang yang macet -- sekali lagi-- menjadi persoalan yang membuat Pertamina tidak nyaman bergerak untuk bersaing di percaturan internasional. Pertamina pun menjadi tak mulus tarikan speed-nya.Urusan dividen juga menjadi bahan diskusi yang seru antara Pertamina dan Departemen Keuangan. Sebagai PT, adalah wajar belaka Pertamina menyerahkan dividen setiap tahunnya kepada pemegang saham, yang bagi Pertamina adalah Pemerintah. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina.Diskusi perlu tidaknya Pertamina berinvestasi, atau seberapa besar investasi tersebut, seringkali tarik-menarik. Di satu sisi Pemerintah butuh duit untuk APBN, di sisi lain Pertamina butuh duit untuk investasi.Dari 156 BUMN - dan sekarang jumlah ini terus berkurang-- hanya 10 BUMN saja yang bisa disebut meraup untung. Salah satunya Pertamina sebagai penghasil laba terbesar, Pemerintah lalu memberikan target agar Pertamina mampu memberikan 50 persen dari proyeksi pendapatan Pemerintah dari laba BUMN. Patokan target ini yang membuat Pertamina sulit menyisihkan untuk investasi.
•••Dana investasi juga terganggu oleh seringnya tertunggak dana subsidi yang seharusnya diterima Pertamina. Misalnya untuk subsidi BBM PSO atau tertahannya dana subsidi LPG 3 kilogram. Sejak program konversi energidari minyak tanah ke LPG digelar tahun 2007, menurut Direktur Keuangan Ferederick ST Siahaan, Pertamina telah mengeluarkan dana Rp 5,6 triliun. "Ini kan belum dibayar subsidinya," katanya.Sejak 2007 Pertamina telah meluncurkan 40 juta paket perdana LPG 3 kilogram. Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menyebutkan, untuk pengadaan paket perdana, Pertamina tidak mendapatkan keuntungan sama sekali. Ke depan sampai tahun 2011, Pertamina menurut Karen masih harus menanggung biaya sebesar Rp 7,5 triliun. Dana itu untuk pembelian paket perdana dan biaya distribusi.Keuangan Pertamina juga terbebani oleh piutang macet di PLN, Garuda, dan TNI untuk pembelian BBM yang sebenarnya tanggung jawab Pemerintah untuk menyelesaikannya. Anggaran yang tersedia di ketiga lembaga itu tidak memadai sesuai kebutuhan mereka. Terjadilah penunggakan besar kepada Pertamina.Pihak PLN, ujar Ferederick, sebenarnya bersedia tak lagi dipasok BBM dari Pertamina. Tapi bagi Pertamina hal itu sulit dilaksanakan, karena dikhawatirkan merugikan masyarakat karena terganggu pasokan listriknya.Pertamina pun tak mungkin menyetop pasokan Avtur kepada Garuda, karena berkaitan dengan kepentingan strategis di bidang transportasi udara. Bagaimana pun, kebijakan Pertamina kalau sudah menyangkut kepentinganumum tidak dalam posisi bisa menolak. Untuk PSO baik untuk BBM subsidi maupun LPG subsidi, komitmen Pertamina adalah mendukung kebijakan Pemerintah."Kita bilang kepada Pemerintah, mudahmudahan di APBN tahun depan ini bisa diselesaikan lah ya, baik tunggakan PLN, TNI. Sama kayak dengan kasus LPG 3 kilogram pun demikian. Paket tabung perdana, ok gelontorkan dulu, gelontorkan dulu. Begitu mau ditagih, anggarannya kurang," tutur Ferederick dengan serius.Pertamina diakui Ferederick tidak bisa saklek karena membantu Pemerintah atau BUMN-BUMN. Senada apa yang dikatakan Dirut Karen Agustiawan. "PSO harus dijalankan oleh Pertamina dengan tanggung jawab mengutamakan kepentingan rakyat, kemudian kepentingan Pemerintah, baru kepentingan Pertamina sendiri," ujar Karen Agustiawan.Komitmen Pertamina ini memang tak berarti harus membuat tubuh Pertamina meleleh seperti lilin yang menerangi sekelilingnya. Di titik ini, terobosan Pemerintah sangat diharapkan. Sudah cukup Pertamina overloud tugasnya dalam periode 1971 - 2001. Pemerintah dan DPR dalam mengambil suatu kebijakan agar tidak terus-menerus membuat Pertamina terhambat investasinya. Tanpa investasi, Pertamina tidak akan pernah berkembang.
•••Fairness juga harus diterapkan Pemerintah dan DPR dalam urusan PSO BBM subsidi yang sekarang melibatkan pihak swasta asing (Shell dan Petronas) dan swasta nasional (AKR). Setidaknya harus ada pembedaan Alpha di setiap daerah, karena tingkat kesulitan dan keekonomian daerah-daerah di negara ini tidak sama."Jika BP Hilir membagi-bagi daerah distribusi tapi tidak melihat perbedaan kondisi tidap daerah dan hanya memberikan angka fix (Rp 556) tentunya ini akan menguntungkan pesaing Pertamina," cetus Direktur Pemasaran dan Niaga Achmad Faisal.Dalam penjelasannya mengenai hal ini Direktur Keuangan Ferederick ST Siahaan menyebutkan, angka Rp 556 per liter sekarang adalah dengan asumsi untuk seluruh Indonesia. Tidak dibagi per daerah. "PSO kita kan PSO paket besar seluruh Indonesia. Pertanyaannya, apakah fair satu badan usaha ditunjuk pada wilayah tertentu yang gemuk-gemuk?" kata Ferederick.Dalih Pertamina belum efisien menjadi alasan klasik pihak eksektutif dan legislatif. "Ada mekanisme yang tidak kita sepakati bersama. Stakeholders kita selalu mengatakan bahwa kita tidak efisien. Sekarang apa ukuran efisien dan tidak efisien?" gugat A. Faisal.Untuk biaya distribusi sebenarnya Pertamina sudah efisien, rata-rata setahun Rp 166 per liter. Lihat bandingkan dengan biaya distribusi BBM di Malaysia Rp 200 per liter, Thailand Rp 160 per liter walaupun negerinya kecil. India Rp 170 per liter.Dan Ferederick meyakinkan semua pihak, Pertamina jangan dibiarkan merugi, karena perusahaan yang merugi tidak akan pernah jadi efisien. "Kalau dia semakin rugi, disuruh efisien, pasti tidak akan bisa efisien, karena bisnisnya nggak jalan," paparnya.Tidak mungkin Pertamina terus ‘ngototngototan' dengan DPR dan Pemerintah. Menurut Ferederick, Pertamina bersikap realistis, karena hal itu juga sudah diputuskan RUPS, walaupun keputusan itu membawa konsekuensi kerugian Pertamina. "Kita tidak dalam posisi untuk menolak," katanya pasrah.Tak ada pilihan lain kecuali Pertamina menyiasati dengan beberapa langkah. Misalnya untuk kerugian Rp 240 miliar dalam PSO BBM tahun 2010 itu dengan beberapa langkah terobosan efisiensi dilakukan agar kerugian minimal bisa menjadi posisi impas. "Buat apa kerja tanpa keuntungan?" cetus A. Faisal.Dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) 2010, Pertamina mulai melakukan pemangkasan jenis anggaran yang tidak memberikan nilai tambah. Pertamina pun terus membenahi kondisi-kondisi yang membuat tidak efisien sebagai warisan masa lalu ketika pendekatan cost and fee dan karenanya tidak memikirkan efisiensi, karena filosofi pendaaan pada periode UU Nomor 8 Tahun 1971 berlaku adalah at all cost. Seluruh biaya yang dikeluarkan Pertamina untuk PSO direcovery oleh Pemerintah.Selain terobosan efisiensi, Pertamina pun mencoba mengatasi problema dana investasi dengan meneritkan sovereign bond atau obligasi internasional dan domestic untuk membiayai nilai investasi RKAP 2010 sebesar Rp 40 triliun. Investasi senilai itu 68 persen untuk sektor hulu dan 32 persen untuk sector hilir.Demi masa depan bangsa, janganlah kita ngerem laju Pertamina menuju pentas dunia dengan langkah dan keputusan sesaat dan untuk kepentingan jangka pendek. Pasti kita sebagai bangsa tidak mau kalah dan terbelakang di segala sektor, kan?•Nandang Suherlan





Tidak ada komentar:

Posting Komentar